Headlines News :
Home » » Gambaran Self Esteem Remaja Putri yang Pernah Melakukan Seksual Pranikah

Gambaran Self Esteem Remaja Putri yang Pernah Melakukan Seksual Pranikah

Written By Unknown on Kamis, 29 November 2012 | 22.07


  Singkat kata, saya membaca artikel menarik yang ditulis dalam situs http://www.ilmupsikologi.com/ tentang : “51% tidak virgin? Semoga Allah tidak mengazab ummat ini”. Sebelumnya fenomena tersebut, juga pernah saya dengar melalui media televisi dan koran. Fenomena tersebut mengpublikasikan mengenai hasil survei yang mengatakan bahwa 50% kaum perempuan muda pernah melakukan seks pranikah atau dapat diartikan lain 50% remaja putri tidak perawan lagi (Suluh Indonesia, Rabu 1 Desember 2010). Klipingan dari koran dan artikel dari situs tersebut terlampir. Fenomena tersebut membuat saya tertarik untuk mengulasnya dari sudut pandang self esteem. Timbul pertanyaan, bagaiamana self esteem remaja putri yang telah melakukan seks pranikah? Selain itu bagaimana peranan pendidikan dalam rangka mengintervensi fenomena tersebut. Berikut ulasannya!.”
Sampai saat ini masalah seksualitas selalu menjadi topik yang menarik untuk dibicarakan. Terlebih lagi membahas mengenai keperawanan rasanya tidak ada habisnya. Permasalahan seksual akan terus menarik dibicaarakan tanpa siapapun bisa mencegahnya. Hal ini dimungkinkan karena permasalahan seksual telah menjadi suatu hal yang sangat melekat pada diri manusia. Seksualitas tidak bisa dihindari oleh makhluk hidup, karena dengan seks makhluk hidup dapat terus bertahan menjaga kelestarian keturunannya.
Seperti yang dikemukakan di atas, topik seksualitas sudah bukan merupakan pembicaraan yang baru lagi di masyarakat, khususnya dikalangan remaja. Pada zaman sekarang ini, kehidupan seksual dikalangan remaja sudah lebih bebas dibandingkan generasi sebelumnya. Pada masa remaja rasa ingin tahu terhadap masalah seksual sangat penting dalam pembentukkan hubungan baru yang lebih matang dengan lawan jenis. Padahal pada masa remaja informasi tentang masalah seksual sudah seharusnya mulai diberikan, agar remaja tidak mencari informasi dari orang lain atau dari sumber-sumber yang tidak jelas atau bahkan keliru sama sekali. Hal ini bisa dirasakan mengenai kehidupan para remaja di kota-kota besar di Indonesia. Terbukanya saluran informasi seputar seks yang bebas beredar di masyarakat pada saat ini melalui media-media, seperti televisi, koran, radio dan internet boleh menjadi mendorong remaja melakukan hubungan seks pranikah.
Pemberian informasi masalah seksual menjadi penting terlebih lagi mengingat remaja berada dalam potensi seksual yang aktif, karena berkaitan dengan dorongan seksual yang dipengaruhi hormon dan sering tidak memiliki informasi yang cukup mengenai aktivitas seksual mereka sendiri (Handbook of Adolecent psychology, 1980). Tentu saja hal tersebut akan sangat
berbahaya bagi perkembangan jiwa remaja bila ia tidak memiliki pengetahuan dan informasi yang tepat. Fakta menunjukkan bahwa sebagian besar remaja kita tidak mengetahui dampak dari perilaku seksual yang mereka lakukan, seringkali remaja sangat tidak matang untuk melakukan hubungan seksual terlebih lagi jika harus menanggung resiko dari hubungan seksual tersebut.
Karena meningkatnya minat remaja pada masalah seksual dan sedang berada dalam potensi seksual yang aktif, maka remaja berusaha mencari berbagai informasi mengenai hal tersebut. Dari sumber informasi yang berhasil mereka dapatkan, pada umumnya hanya sedikit remaja yang mendapatkan seluk beluk seksual dari orang tuanya. Oleh karena itu remaja mencari atau mendapatkan dari berbagai sumber informasi yang mungkin dapat diperoleh, misalnya seperti di sekolah atau perguruan tinggi, membahas dengan teman-teman, buku-buku tentang seks, media massa atau internet.
Pendapat tersebut didukung oleh penelitian Wijaya (dalam Anissa, 2009) yang menyatakan bahwa 51,5% yang terdiri dari 48,5% adalah responden pria dan 6% adalah responden wanita yang berusia 13–15 tahun, 67,3% berusia 16-17 tahun dan 26,7% berusia di atas 18 tahun terungkap sebanyak 7% dari responden tersebut pernah melakukan hubungan seks pranikah. Hasil lain mengungkapkan bahwa 100% dari mereka yang melakukan hubungan seks pranikah ini mengaku hubungan seks yang mereka lakukan terinspirasi dari vcd porno yang mereka lihat, 73% dari teman, 66% dari internet, 47% dari media cetak seperti koran atau majalah. Survei Kesehatan Reproduksi Remaja Indonesia - SKRRI (2007) juga memperkuat hasil penelitian tersebut. Dalam survei tersebut menyatakan bahwa sebagian besar para remaja baik pria dan wanita mendiskusikan mengenai kesehatan reproduksi dengan kelompoknya atau temannya (remaja wanita sebesar 71% sedangkan remaja pria sebesar 58%).
Melodina (1990) mengatakan bahwa hubungan seks pranikah adalah hubungan seksual yang dilakukan oleh sepasang insan yang belum menikah atau yang belum terikat oleh tali perkawinan. Hubungan seksual ini umumnya terjadi diantara mereka yang telah meningkat remaja menuju dewasa. Hal ini sangat mungkin terjadi mengingat pada saat seseorang memasuki masa remaja mulai timbul dorongan-dorongan seksual di dalam dirinya. Apalagi pada masa ini minat mereka dalam membina hubungannya terfokus pada lawan jenis. SKRRI (2007) menyatakan umur pertama kali pacaran, baik pada wanita dan pria sebagian besar pada usia 15-17 tahun, proporsi wanita sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan pria, yakni 43% berbanding 40%. Remaja wanita mulai pacara pada umur yang lebih muda dibandingkan dengan remaja pria, yaitu 42% remaja wanita sudah berpacaran pada umur dibawah 15 tahun, sedangkan 19% untuk remaja pria. Selain itu dinyatakan bahwa sebesar 27% kegiatan yang dilakukan remaja pria saat berpacaran adalah dengan perilaku meraba atau merangsang bagian tubuh yang sensitive sedangkan remaja wanita sebesar 9% melakukan hal yang sama. Pendapat penting dari hasil SKRRI yaitu responden remaja wanita dan pria setuju dan menerima perilaku hubungan seksual sebelum menikah baik dilakukan oleh remaja wanita dan pria
Saat ini kecenderungan pola masyarakat tentang seks bebas mengalami banyak perubahan. Perubahan-perubahan itu terjadi dikarenakan iklim sosial saat ini yang membuat pola pergaulan remaja sekarang ini semakin permisif. Dahulu orang mengganggap perilaku seks dilakukan setelah menikah, namun sekarang ini perilaku seks pranikah terkesan sebagai suatu yang lumrah. Hal-hal ini yang menyebabkan penurunan batas usia yang melakukan hubungan seksual semakin menurun. Ini bisa dilihat dari beberapa hasil penelitian yang menunjukkan adanya penurunan batas usia hubungan seksual pertama, yaitu 18% responden di Jakarta berhubungan seks pertama dibawah usia 18 tahun dan usia termuda 13 tahun (Iskandar, 1998). Remaja di Manado yang sudah aktif secara seksual, melakukan hubungan seks pertama pada usia dibawah 16 tahun. Sebanyak 56,8% pada remaja pria dan 33,3% pada remaja wanita (Utomo dalam Sarwono, 2004).
Dilihat dari beberapa hal yang menjadi dasar remaja melakukan hubungan seksual tersebut adalah karena dipaksa (wanita 61% dan pria 23%), merasa sudah siap (wanita 51% dan pria 59%), butuh dicintai (wanita 45% dan pria 23%), dan takut diejek teman karena masih perawan/perjaka (wanita 38% dan pria 43%) (Santrock dalam Sarwono, 2004). SKRRI (2007) menambahkan bahwa alasan mengapa remaja berhubungan seks pertama kali antara lain terjadi begitu saja (wanita 38,4% dan pria 25,8%), penasaran (wanita 6,8% daan pria 51,3%), dipaksa pasangan (wanita 21,2% dan pria 1,7%), perlu uang untuk hidup/sekolah (wanita 0,7% dan pria 0,2%), ingin menikah (wanita 6,9% dan pria 1,5%) dan pengaruh teman (wanita 5,7% dan pria 4,3%) Keputusan untuk melakukan hubungan seks tersebut tidak dengan konsekuensi yang kecil, remaja yang telah melakukan hubungan seks harus juga memikirkan resiko yang dihadapinya nanti seperti hamil diluar nikah dan terkena penyakit kelamin.
Pengertian seksual secara umum adalah sesuatu yang berkaitan dengan alat kelamin atau hal-hal yang berhubungan dengan perkara-perkara hubungan intim antara laki-laki dengan perempuan. Karakter seksual masing-masing jenis kelamin memiliki spesifikasi yang berbeda hal ini seperti yang pendapat berikut ini : Sexual characteristics are divided into two types. Primary sexual characteristics are directly related to reproduction and include the sex organs (genitalia). Secondary sexual characteristics are attributes other than the sex organs that generally distinguish one sex from the other but are not essential to reproduction, such as the larger breasts characteristic of women and the facial hair and deeper voices characteristic of men (Microsoft Encarta Encyclopedia, 2010)
Pendapat tersebut seiring dengan pendapat Hurlock (1991), seorang ahli psikologi perkembangan, yang mengemukakan tanda-tanda kelamin sekunder yang penting pada laki-laki dan perempuan. Menurut Hurlock, pada remaja pria : tumbuh rambut kemaluan, kulit menjadi kasar, otot bertambah besar dan kuat, suara membesar dan lain,lain. Sedangkan pada remaja putri : pinggul melebar, payudara mulai tumbuh, tumbuh rambut kemaluan, mulai mengalami haid, dan lain-lain. Seiring dengan pertumbuhan primer dan sekunder pada remaja ke arah kematangan yang sempurna, muncul juga hasrat dan dorongan untuk menyalurkan keinginan seksualnya. Hal tersebut merupakan suatu yang wajar karena secara alamiah dorongan seksual ini memang harus terjadi untuk menyalurkan kasih sayang antara dua insan, sebagai fungsi pengembangbiakan dan mempertahankan keturunan.
Perilaku seksual adalah segala tingkah laku yang didorong oleh hasrat seksual, baik dengan lawan jenis maupun sesama jenis. Bentuk-bentuk tingkah laku ini dapat beraneka ragam, mulai dari perasaan tertarik hingga tingkah laku berkencan, bercumbu dan senggama. Obyek seksual dapat berupa orang, baik sejenis maupun lawan jenis, orang dalam khayalan atau diri sendiri. Sebagian tingkah laku ini memang tidak memiliki dampak, terutama bila tidak menimbulkan dampak fisik bagi orang yang bersangkutan atau lingkungan sosial. Tetapi sebagian perilaku seksual (yang dilakukan sebelum waktunya) justru dapat memiliki dampak psikologis yang sangat serius, seperti rasa bersalah, depresi, marah, dan agresi.
Sementara akibat psikososial yang timbul akibat perilaku seksual antara lain adalah ketegangan mental dan kebingungan akan peran sosial yang tiba-tiba berubah, misalnya pada kasus remaja yang hamil di luar nikah. Belum lagi tekanan dari masyarakat yang mencela dan menolak keadaan tersebut. Selain itu resiko yang lain adalah terganggunya kesehatan yang bersangkutan, resiko kelainan janin dan tingkat kematian bayi yang tinggi. Disamping itu tingkat putus sekolah remaja hamil juga sangat tinggi, hal ini disebabkan rasa malu remaja dan penolakan sekolah menerima kenyataan adanya murid yang hamil diluar nikah. Masalah ekonomi juga akan membuat permasalahan ini menjadi semakin rumit dan kompleks.
Berbagai perilaku seksual pada remaja yang belum saatnya untuk melakukan hubungan seksual secara wajar antara lain dikenal sebagai :
 Masturbasi atau onani yaitu suatu kebiasaan buruk berupa manipulasi terhadap alat genital dalam rangka menyalurkan hasrat seksual untuk pemenuhan kenikmatan yang seringkali menimbulkan goncangan pribadi dan emosi.
 Berpacaran dengan berbagai perilaku seksual yang ringan seperti sentuhan, pegangan tangan sampai pada ciuman dan sentuhan-sentuhan seks yang pada dasarnya adalah keinginan untuk menikmati dan memuaskan dorongan seksual.
 Berbagai kegiatan yang mengarah pada pemuasan dorongan seksual yang pada dasarnya menunjukan tidak berhasilnya seseorang dalam mengendalikannya atau kegagalan untuk mengalihkan dorongan tersebut ke kegiatan lain yang sebenarnya masih dapat dikerjakan.

Dorongan atau hasrat untuk melakukan hubungan seksual selalu muncul pada remaja, oleh karena itu bila tidak ada penyaluran yang sesuai (menikah) maka harus dilakukan usaha untuk memberi pengertian dan pengetahuan mengenai hal tersebut.
Adapun faktor-faktor yang dianggap berperan dalam munculnya permasalahan seksual pada remaja, menurut Sarwono (2000) adalah sebagai berikut :
 Perubahan-perubahan hormonal yang meningkatkan hasrat seksual remaja. Peningkatan hormon ini menyebabkan remaja membutuhkan penyaluran dalam bentuk tingkah laku tertentu
 Penyaluran tersebut tidak dapat segera dilakukan karena adanya penundaan usia perkawinan, baik secara hukum oleh karena adanya undang-undang tentang perkawinan, maupun karena norma sosial yang semakin lama semakin menuntut persyaratan yang terus meningkat untuk perkawinan (pendidikan, pekerjaan, persiapan mental dan lain-lain)


 Norma-norma agama yang berlaku, dimana seseorang dilarang untuk melakukan hubungan seksual sebelum menikah. Untuk remaja yang tidak dapat menahan diri memiliki kecenderungan untuk melanggar hal-hal tersebut.
 Kecenderungan pelanggaran makin meningkat karena adanya penyebaran informasi dan rangsangan melalui media masa yang dengan teknologi yang canggih (cth: VCD, buku stensilan, Photo, majalah, internet, dan lain-lain) menjadi tidak terbendung lagi. Remaja yang sedang dalam periode ingin tahu dan ingin mencoba, akan meniru apa dilihat atau didengar dari media massa, karena pada umumnya mereka belum pernah mengetahui masalah seksual secara lengkap dari orangtuanya.
 Orangtua sendiri, baik karena ketidaktahuannya maupun karena sikapnya yang masih mentabukan pembicaraan mengenai seks dengan anak, menjadikan mereka tidak terbuka pada anak, bahkan cenderung membuat jarak dengan anak dalam masalah ini.
 Adanya kecenderungan yang makin bebas antara pria dan wanita dalam masyarakat, sebagai akibat berkembangnya peran dan pendidikan wanita, sehingga kedudukan wanita semakin sejajar dengan pria.

Walaupun pada zaman sekarang ini marak terjadi perilaku seks bebas tetapi sebenarnya dalam masyarakat Indonesia masih menjunjung tinggi nilai tradisional. Nilai tradisional dalam perilaku seksual yang paling utama adalah tidak melakukan hubungan seksual sebelum menikah. Nilai ini tercermin dalam bentuk keinginan untuk mempertahankan kegadisan seseorang sebelum menikah. Kegadisan pada waita seringkali dilambangkan sebagai “Mahkota” atau “Tanda Kesucian” atau “Harta yang paling berharga dari seorang wanita”. Hilangnya kegadisan bisa berakibat depresi atau kecemasan yang mendalam pada wanita yang bersangkutan (Sarwono, 2004). Menurut SKRRI (2007) kegadisan atau keperawan dinilai tinggi diantara pria dan wanita. Hampir semua pria dan wanita ternyata menganggap penting bagi seorang wanita untuk mempertahankan keperawanannya (98-99%). Selain itu, sejumlah 73% wanita dan 89% pria berpendapat bahwa seorang pria masih menganggap penting kegadisan calon istri mereka.
Keperawanan ternyata berkaitan erat dengan harga diri. Menurut Tambunan (2001) harga diri itu sendiri mengandung arti yaitu suatu hasil penilaian individu terhadap dirinya yang diungkapkan dalam sikap-sikap yang dapat bersifat positif atau negatif. Keputusan untuk melakukan hubungan seks tersebut tidak dengan konsekuensi yang kecil, terutama untuk remaja wanita. Perasaan-perasaan negatif seperti hilangnya keperawanan, rasa malu, rasa bersalah, rasa berdosa, kotor, takut, khwatir dan lainnya akan timbul setelah mereka melakukan hubungan seks pranikah (Conger, 1991). Hubungan seks tidak hanya menyebabkan gangguan pada fisik saja, namun juga pada gangguan psikis remaja putri. Gangguan psikis itu dapat berupa perasaan terhinda, rendahnya harga diri, bahkan depresi (Curran dalam Conger, 1991). Hal ini bisa dilihat dari hasil penelitian yang menunjukkan bahwa perilaku seks pranikah memberikan dampak hilangnya harga diri seorang wanita, yaitu penderitaan kehilangan keperawanan (82%), rasa bersalah (51%), merasa dirinya kotor (63%), tidak percaya diri (41%) dan rasa takut tidka diterima (59%) (Subandriyo dalam Kompas, 2001).
Steinberg (1999) juga menyatakan bahwa harga diri merupakan konstruk yang penting dalam kehidupan sehari-hari juga berperan serta dalam menentukan tingkah laku seseorang. Dalam
hal ini remaja putri yang telah melakukan hubungan seks pranikah akan menimbulkan perilaku yang berdampak harga dirinya. Dampak dari hubungan seks pranikah yang berkaitan dengan harga diri ditandai oleh perasaan ragu terhadap dirinya, tidak percaya diri, dirnya merasa bersalah, kotor, rasa takut tidak diterima serta penghinaan terhadap masyarakat (Brock, 1990). Pada paragraf di atas didefinisikan bahwa harga diri merupakan hasil penilaian individu terhadap dirinya yang diungkapkan dalam sikap-sikap yang dapat bersifat positif atau negatif (Tambunan, 2001). Felker (dalam Churaisin, 2004) mengemukakan bahwa komponen harga diri terdiri dari : 1) felling of belonging, yaitu suatu perasaan individu bahwa dirinya merupakan bagian dari suatu kelompok dan dirinya diterima seperti dihargai oleh anggota kelompok. 2) Felling of competence, yaitu perasaan dan keyakinan individu akan kemampuan yang ada pada dirinya sendiri dalam mencapai suatu hasil yang diharapkan, misalnya perasaan seseorang pada saat mengalami keberhasilan atau kegagalan. 3) Felling of worth, yaitu perasaan dimana individu merasa dirinya berharga atau tidak, dimana perasaan ini banyak dipengaruhi oleh pengalaman yang lalu. Perasaan yang dimiliki individu yang sering kali ditampilkan dan berasal dari pernyataan-pernyataan yang sifatnya pribadi seperti pintar, sopan, baik dan lain sebagainya.
Berdasarkan komponen harga diri yang dikemukakan oleh Felker (dalam Churaisin, 2004), remaja putri yang melakukan hubungan seks pranikah cenderung merasa dirinya tetap merasa diterima oleh lingkungan dan keluarganya. Hal tersebut karena kedua unsur tersebut tidak mengetahui terhadap perilaku seks pranikah yang dilakukan remaja putri tersebut. Namun berbeda hal dengan kelompok lawan jenis. Remaja putri yang telah melakukan perilaku seks pranikah cenderung tidak dapat diterima oleh lawan jenisnya. Hal tersebut karena setelah remaja putri terbuka dengan pasangannya bahwa dirinya pernah melakukan hubungan seks agar pasangannya dapat menerima apa adanya, namun pada kenyataannya pasangan remaja tersebut tidak bisa menerima apa yang telah dilakukan oleh yang bersangkutan.
Bila dilihat dari felling of competence, setelah remaja putri terbuka dengan pasangannya dan pasangannya tidak menerima perilaku yang telah dilakukan yang bersangkutan tersebut, membuat remaja putri merasa tidak mampu atau tidak berani lagi terbuka dengan pasangannya dan setelah remaja putri tersebut melakukan hubungan seks pranikah, dalam menjalin hubungan dengan lawan jenis maka remaja putri tersebut cederung kurang mampu dan cenderung belum sesuai dengan harapannya. Hal tersebut dikarenakan remaja putri tersebut meradasa dirinya selalu gagal dan tidak mampu untuk mempertahankan hubungan dengan pasangannya. Sementara itu bila dilihat dari felling of worth, menurut Coopersmith (dalam Arsita, 2006) individu yang harga diri yang rendah adalah individu yang merasa dirinya tidak berharga dan tidak disukai. Hal ini membuat takut gagal untuk melakukan hubungan sosial, karena itulah remaja putri tersering menolak dirinya sendiri, merasa tidak puas dan meremehkan dirinya sendiri.
Coopersmith (1967) mengungkap terdapat tiga faktor yang mempengaruhi harga diri seseorang, yaitu faktor psikologis, faktor lingkungan dan faktor fisik. Remaja putri yang telah melakukan seks pranikah merasa tidak bahagia dan tidak tenang. Mereka merasa dirinya menjadi tidak tenang, setiap bulan mereka menjadi panik karena dirinya takut hamil dan jika
benar hamil kwatir dan takut pasangannya akan meninggalkannya. Selain itu juga remaja putri yang telah melakukan seks pranikah juga merasa berdosa dan malu. Karena adanya tekanan akan kesadaran terhadap standar atau etika yang ada dalam lingkungannya tersebut. Selain itu jika dilihat dari faktor lingkungan, menurut Darajat (1980) harga diri mulai terbentuk sejak masa kanak-kanak. Proses tersebut berlangsung ketika anak melakukan interaksi dengan lingkungan dan teman-temannya. Remaja putri yang telah melakukan seks pranikah akan sulit percaya lagi dengan lawan jenisnya akibat dari adanya kecenderungan mantan pacarnya merendahkan yang bersangkutan didepan teman-teman prianya. Sedangkan dari faktor fisik, remaja putri yang telah melakukan seks pranikah merasa penampilan fisiknya kurang menarik dan tidak bangga terhadap dirinya lagi. Hal tersebut membuat remaja putri tersebut kurang percaya diri. Penilaian remaja putri yang telah melakukan seks pranikah terhadap fisiknya antara lain : merasa dadanya membesar, merasa ada bagian fisiknya yang telah kendaor, merasa jalannya seperti mengangkang (Sari, 2010).
Memasuki Milenium baru ini sudah selayaknya bila orang tua dan kaum pendidik bersikap lebih tanggap dalam menjaga dan mendidik anak dan remaja agar ekstra berhati-hati terhadap gejala-gejala sosial, terutama yang berkaitan dengan masalah seksual, yang berlangsung saat ini. Seiring perkembangan yang terjadi sudah saatnya pemberian penerangan dan pengetahuan masalah seksualitas pada anak dan remaja ditingkatkan. Pandangan sebagian besar masyarakat yang menganggap seksualitas merupakan suatu hal yang alamiah, yang nantinya akan diketahui dengan sendirinya setelah mereka menikah sehingga dianggap suatu hal tabu untuk dibicarakan secara terbuka, nampaknya secara perlahan-lahan harus diubah. Sudah saatnya pandangan semacam ini harus diluruskan agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan dan membahayakan bagi anak dan remaja sebagai generasi penerus bangsa. Remaja yang hamil di luar nikah, aborsi, penyakit kelamin, dll, adalah contoh dari beberapa kenyataan pahit yang sering terjadi pada remaja sebagai akibat pemahaman yang keliru mengenai seksualitas.
Menurut Sarlito dalam bukunya psikologi remaja (1994), secara umum pendidikan seksual adalah suatu informasi mengenai persoalan seksualitas manusia yang jelas dan benar, yang meliputi proses terjadinya pembuahan, kehamilan sampai kelahiran, tingkah laku seksual, hubungan seksual, dan aspek-aspek kesehatan, kejiwaan dan kemasyarakatan. Masalah pendidikan seksual yang diberikan sepatutnya berkaitan dengan norma-norma yang berlaku di masyarakat, apa yang dilarang, apa yang dilazimkan dan bagaimana melakukannya tanpa melanggar aturan-aturan yang berlaku di masyarakat.
Pendidikan seksual merupakan cara pengajaran atau pendidikan yang dapat menolong muda-mudi untuk menghadapi masalah hidup yang bersumber pada dorongan seksual. Dengan demikian pendidikan seksual ini bermaksud untuk menerangkan segala hal yang berhubungan dengan seks dan seksualitas dalam bentuk yang wajar. Menurut Gunarsa (1991) penyampaian materi pendidikan seksual ini seharusnya diberikan sejak dini ketika anak sudah mulai bertanya tentang perbedaan kelamin antara dirinya dan orang lain, berkesinambungan dan bertahap, disesuaikan dengan kebutuhan dan umur anak serta daya tangkap anak. Dalam hal ini pendidikan seksual idealnya diberikan pertama kali oleh orangtua di rumah, mengingat yang
paling tahu keadaan anak adalah orangtuanya sendiri. Tetapi sayangnya di Indonesia tidak semua orangtua mau terbuka terhadap anak di dalam membicarakan permasalahan seksual. Selain itu tingkat sosial ekonomi maupun tingkat pendidikan yang heterogen di Indonesia menyebabkan ada orang tua yang mau dan mampu memberikan penerangan tentang seks tetapi lebih banyak yang tidak mampu dan tidak memahami permasalahan tersebut. Dalam hal ini maka sebenarnya peran dunia pendidikan sangatlah besar.
Pendidikan seksual selain menerangkan tentang aspek-aspek anatomis dan biologis juga menerangkan tentang aspek-aspek psikologis dan moral. Pendidikan seksual yang benar harus memasukkan unsur-unsur hak asasi manusia. Juga nilai-nilai kultur dan agama diikutsertakan sehingga akan merupakan pendidikan akhlak dan moral juga.
Menurut Kartono Mohamad pendidikan seksual yang baik mempunyai tujuan membina keluarga dan menjadi orang tua yang bertanggungjawab (dalam Diskusi Panel Islam Dan Pendidikan Seks Bagi Remaja, 1991). Beberapa ahli mengatakan pendidikan seksual yang baik harus dilengkapi dengan pendidikan etika, pendidikan tentang hubungan antar sesama manusia baik dalam hubungan keluarga maupun di dalam masyarakat. Juga dikatakan bahwa tujuan dari pendidikan seksual adalah bukan untuk menimbulkan rasa ingin tahu dan ingin mencoba hubungan seksual antara remaja, tetapi ingin menyiapkan agar remaja tahu tentang seksualitas dan akibat-akibatnya bila dilakukan tanpa mematuhi aturan hukum, agama dan adat istiadat serta kesiapan mental dan material seseorang. Selain itu pendidikan seksual juga bertujuan untuk memberikan pengetahuan dan mendidik anak agar berperilaku yang baik dalam hal seksual, sesuai dengan norma agama, sosial dan kesusilaan (Husodo, 1987).
Penjabaran tujuan pendidikan seksual dengan lebih lengkap sebagai berikut :
Memberikan pengertian yang memadai mengenai perubahan fisik, mental dan proses kematangan emosional yang berkaitan dengan masalah seksual pada remaja.
Mengurangi ketakutan dan kecemasan sehubungan dengan perkembangan dan penyesuaian seksual (peran, tuntutan dan tanggungjawab)
Membentuk sikap dan memberikan pengertian terhadap seks dalam semua manifestasi yang bervariasi
Memberikan pengertian bahwa hubungan antara manusia dapat membawa kepuasan pada kedua individu dan kehidupan keluarga.
Memberikan pengertian mengenai kebutuhan nilai moral yang esensial untuk memberikan dasar yang rasional dalam membuat keputusan berhubungan dengan perilaku seksual.
Memberikan pengetahuan tentang kesalahan dan penyimpangan seksual agar individu dapat menjaga diri dan melawan eksploitasi yang dapat mengganggu kesehatan fisik dan mentalnya.
Untuk mengurangi prostitusi, ketakutan terhadap seksual yang tidak rasional dan eksplorasi seks yang berlebihan.
Memberikan pengertian dan kondisi yang dapat membuat individu melakukan aktivitas seksual secara efektif dan kreatif dalam berbagai peran, misalnya sebagai istri atau suami, orang tua, anggota masyarakat.

Jadi tujuan pendidikan seksual adalah untuk membentuk suatu sikap emosional yang sehat terhadap masalah seksual dan membimbing anak dan remaja ke arah hidup dewasa yang sehat dan bertanggung jawab terhadap kehidupan seksualnya. Hal ini dimaksudkan agar mereka tidak menganggap seks itu suatu yang menjijikan dan kotor. Tetapi lebih sebagai bawaan manusia, yang merupakan anugrah Tuhan dan berfungsi penting untuk kelanggengan kehidupan manusia, dan supaya anak-anak itu bisa belajar menghargai kemampuan seksualnya dan hanya menyalurkan dorongan tersebut untuk tujuan tertentu (yang baik) dan pada waktu yang tertentu saja.
Para ahli berpendapat bahwa pendidik yang terbaik adalah orang tua dari anak itu sendiri. Pendidikan yang diberikan termasuk dalam pendidikan seksual. Dalam membicarakan masalah seksual adalah yang sifatnya sangat pribadi dan membutuhkan suasana yang akrab, terbuka dari hati ke hati antara orang tua dan anak. Hal ini akan lebih mudah diciptakan antara ibu dengan anak perempuannya atau bapak dengan anak laki-lakinya, sekalipun tidak ditutup kemungkinan dapat terwujud bila dilakukan antara ibu dengan anak laki-lakinya atau bapak dengan anak perempuannya. Kemudian usahakan jangan sampai muncul keluhan seperti tidak tahu harus mulai dari mana, kekakuan, kebingungan dan kehabisan bahan pembicaraan.
Dalam memberikan pendidikan seks pada anak jangan ditunggu sampai anak bertanya mengenai seks. Sebaiknya pendidikan seks diberikan dengan terencana, sesuai dengan keadaan dan kebutuhan anak. Sebaiknya pada saat anak menjelang remaja dimana proses kematangan baik fisik, maupun mentalnya mulai timbul dan berkembang kearah kedewasaan.
Beberapa hal penting dalam memberikan pendidikan seksual, seperti yang diuraikan oleh Gunarsa (1991) berikut ini, mungkin patut diperhatikan :
Cara menyampaikannya harus wajar dan sederhana, jangan terlihat ragu-ragu atau malu.
Isi uraian yang disampaikan harus obyektif, namun jangan menerangkan yang tidak-tidak, seolah-olah bertujuan agar anak tidak akan bertanya lagi, boleh mempergunakan contoh atau simbol seperti misalnya : proses pembuahan pada tumbuh-tumbuhan, sejauh diperhatikan bahwa uraiannya tetap rasional.
Dangkal atau mendalamnya isi uraiannya harus disesuaikan dengan kebutuhan dan dengan tahap perkembangan anak. Terhadap anak umur 9 atau 10 tahun t belum perlu menerangkan secara lengkap mengenai perilaku atau tindakan dalam hubungan kelamin, karena perkembangan dari seluruh aspek kepribadiannya memang belum mencapai tahap kematangan untuk dapat menyerap uraian yang mendalam mengenai masalah tersebut.
Pendidikan seksual harus diberikan secara pribadi, karena luas sempitnya pengetahuan dengan cepat lambatnya tahap-tahap perkembangan tidak sama buat setiap anak. Dengan pendekatan pribadi maka cara dan isi uraian dapat disesuaikan dengan keadaan khusus anak.
Pada akhirnya perlu diperhatikan bahwa usahakan melaksanakan pendidikan seksual perlu diulang-ulang (repetitif) selain itu juga perlu untuk mengetahui seberapa jauh sesuatu pengertian baru dapat diserap oleh anak, juga perlu untuk mengingatkan dan memperkuat (reinforcement) apa yang telah diketahui agar benar-benar menjadi bagian dari pengetahuannya.

Simpulannya adalah remaja putri yang telah melakukan hubungan seks pranikah memiliki self esteem yang negatif. Remaja putri yang telah melakukan seks pranikah cenderung akan merasa tidak berharga dalam suatu lingkungan apa bila lingkungan tersebut mengetahui prilaku yang bersangkutan. Untuk itu, mayoritas seorang remaja, terutama putri akan menyembunyikan perbuatannya tersebut dari lingkungan agar tetap merasa dihargai oleh lingkungannya. Namun perasaan membohongi diri sendiri yang dibiasakan akan menimbulkan perasaan dosa dari yang bersangkutan. Karena adanya tekanan akan kesadaran terhadap standar atau etika yang ada dalam lingkungannya tersebut.
Ciri-ciri psikologisnya, timbul rasa bersalah, kotor dan tidak utuh lagi. Perasaan tersebut timbul salah satunya karena ketidak percayaan pasangan dari pasangan atau lingkungan bila remaja putri tersebut mengakui atas perbuatan tersebut. Selain itu timbul rasa kwatir dan takut akan dampak dari perilakunya tersebut, seperti takut hamil, takut ditinggalkan oleh pasangan jika hamil, dll. Rasa takut dan rasa kwatir yang
Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

Total Tayangan Halaman

Comments

Flag Counter

Popular Posts

Followers

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Proudly powered by Blogger
Copyright © 2011. pemdes_haurkolot - All Rights Reserved
Template Design by Creating Website Published by Mas Template